Minggu, 29 Agustus 2010

Sikap dan Akhlak Rasulullah Saw

Bentuk tubuh Rasulullah

Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. yang pernah hidup bersama Rasulullah SAW, berkata:
“Saya bertanya kepada paman saya, Hind bin Abi Halah -yang selalu berbicara tentang Nabi yang mulia- untuk menceritakan kepada saya berkenaan dengan Nabi, agar kecintaan saya bertambah. Ia berkata, ‘Nabi Allah sangat berwibawa dan sangat dihormati. Wajahnya bersinar seperti purnama. Ia lebih tinggi dari orang-orang pendek dan lebih pendek dari orang-orang jangkung. Kepalanya agak besar dengan rambut yang ikal. Bila rambutnya itu bisa disisir, ia pasti menyisir rambutnya. Kalau rambutnya tumbuh panjang, ia tak akan membiarkannya melewati daun telinga. Kulit wajahnya putih dengan dahi yang lebar. Kedua alisnya panjang dan lebat, tapi tidak bertemu.
Di antara kedua alisnya, ada pembuluh darah melintang yang tampak jelas ketika beliau marah. Ada seberkas cahaya yang menyapu tubuhnya dari bawah ke atas, seakan-akan mengangkat tubuhnya. Jika orang berjumpa dengannya dan tidak melihat cahaya itu, orang mungkin menduga ia mengangkat kepalanya karena sombong.’
‘Janggutnya pendek dan tebal; pipinya halus dan lebar. Mulutnya lebar dengan gigi-gigi yang jarang dan bersih. Di atas dadanya ada bulu yang sangat halus; lehernya seperti batang perak murni yang indah. Tubuhnya serasi (semua anggota tubuhnya sangat serasi dengan ukuran anggota tubuh yang lain). Perut dan dadanya sejajar. Bahunya lebar, sendi-sendi anggota badannya gempal. Dadanya bidang. Bagian tubuhnya yang tidak tertutup pakaian bersinar terang. Segaris bulu yang tipis memanjang dari dada ke pusarnya. Di luar itu, dada dan perutnya tidak berbulu sama sekali. Lengan, bahu dan pundaknya berbulu. Lengannya panjang dan telapak tangannya lebar. Tangan dan kakinya tebal dan kekar. Jari-jemarinya panjang. Pertengahan telapak kakinya melengkung, tidak menyentuh tanah, air tidak membasahinya. Ketika berjalan ia mengangkat kakinya dari tanah dengan dada yang dibusungkan. Langkah-langkahnya lembut. Ia berjalan cepat seakan-akan menuruni bukit. Bila berhadapan dengan seseorang, Ia hadapkan seluruh tubuhnya, bukan hanya kepalanya. Matanya selalu merunduk. Pandangannya ke arah bumi lebih lama daripada pandangannya ke langit. Sesekali ia memandang dengan pandangan sekilas. Ia selalu menjadi orang pertama yang mengucapkan salam kepada orang yang ditemuinya di jalan.’”

Cara bicara Rasulullah

Kemudian Imam Hasan berkata, “Ceritakan kepadaku cara bicaranya.”
Hind bin Abi Halah berkata, “Ia selalu tampak sendu, selalu merenung dalam, dan tidak pernah tenang. Ia banyak diamnya. Ia tidak pernah berbicara yang tidak perlu. Ia memulai dan menutup pembicaraannya dengan sangat fasih. Pembicaraannya singkat dan padat, tanpa kelebihan kata-kata dan tidak kekurangan perincian yan diperlukan. Ia berbicara lembut, tidak pernah kasar atau menyakitkan. Ia selalu menganggap besar anugerah Tuhan betapapun kecilnya. Ia tidak pernah mengeluhkannya. Ia juga tidak pernah mengecam atau memuji berlebih-lebihan apapun yang ia makan
Dunia dan apapun yang ada padanya tidak pernah membuatnya marah. Tetapi, jika hak seseorang dirampas, ia akan sangat murka sehingga tidak seorang pun mengenalnya lagi dan tidak ada satu pun yang dapat menghalanginya sampai ia mengembalikan hak itu kepada yang punya. Ketika menunjuk sesuatu, ia menunjuk dengan seluruh tangannya. Ketika terpesona, ia membalikkan tangannya ke bawah. Ketika berbicara,terkadang ia bersedekap atau merapatkan telapak tangan kanannya pada punggung ibu jari kirinya. Ketika marah, ia palingkan wajahnya. Ketika tersinggung, ia merunduk. Ketika ia tertawa, gigi-giginya tampak seperti untaian butir-butir hujan es.

Imam Hasan berkata, “Saya menyembunyikan berita ini dari Imam Husain sampai suatu saat saya menceritakan kepadanya. Ternyata ia sudah tahu sebelumnya. Kemudian saya bertanya kepadanya tentang berita ini. Ternyata ia telah bertanya kepada ayahnya (Imam Ali) tentang Nabi, di dalam dan di luar rumah, cara duduknya dan penampilannya, dan ia menceritakan semuanya.”
Akhlak Rasulullah ketika masuk rumah
Imam Husain berkata, “Aku bertanya kepada ayahku tentang perilaku Nabi ketika ia memasuki rumahnya. Ayahku berkata, ‘Ia masuk rumah kapan saja ia inginkan. Bila berada di rumah, ia membagi waktunya menjadi tiga bagian; sebagian untuk Allah, sebagian untuk keluarganya, sebagian lagi untuk dirinya. Kemudian ia membagi waktunya sendiri antara dirinya dan orang lain; satu bagian khusus untuk sahabatnya dan bagian lainnya untuk umum. Ia tidak menyisakan waktunya untuk kepentingan dirinya. Termasuk kebiasaannya pada bagian yang ia lakukan untuk orang lain ialah mendahulukan atau menghormati orang-orang yang mulia dan ia menggolongkan manusia berdasarkan keutamaannya dalam agama. Di antara sahabatnya, ada yang mengajukan satu keperluan, dua keperluan, atau banyak keperluan lain. Ia menyibukkan dirinya dengan keperluan mereka. Jadi, ia menyibukkan dirinya untuk melayani mereka dan menyibukkan mereka dengan sesuatu yang baik bagi mereka.

“Ia sering menanyakan keadaan sahabatnya dan memberi tahu mereka apa yang patut mereka lakukan. ‘mereka yang hadir sekarang ini harus memberitahukan kepada yang tidak hadir. Beritahukan kepadaku orang yang tidak sanggup menyampaikan keperluannya kepadaku. Orang yang menyampaikan kepada pihak yang berwenang keluhan seseorang yang tidak sanggup menyampaikannya, akan Allah kokohkan kakinya pada Hari Perhitungan’. Selain hal-hal demikan, tidak ada yang disebut-sebut dihadapannya dan tidak akan diterimanya. Mereka datang menemui beliau untuk menuntut ilmu dan kearifan. Mereka tidak bubar sebelum mereka menerimanya. Mereka meninggalkan majlis Nabi sebagai pembimbing untuk orang di belakangnya.’

Akhlak Rasulullah di luar rumah

“Aku bertanya kepadanya tentang tingkah laku Nabi yang mulia di luar rumahnya. Ia menjawab, ‘Nabi itu pendiam sampai ia merasa perlu untuk bicara. Ia sangat ramah kepada setiap orang. Ia tidak pernah mengucilkan seorang pun dalam pergaulannya. Ia menghormati orang yang terhormat pada setiap kaum dan memerintahkan mereka untuk menjaganya kaumnya. Ia selalu berhati-hati agar berperilaku yang tidak sopan atau menunjukkkan wajah yang tidak ramah kepada mereka. Ia suka menanyakan keadaan sahabat-sahabatnya dan keadaan orang-orang di sekitar mereka, misalnya keluarganya atau tetangganya. Ia menunjukkan yang baik itu baik dan memperkuatnya. Ia menunjukkan yang jelek itu jelek dan melemahkannya. Ia selalu memilih yang tengah-tengah dalam segala urusannya.’
“Ia tidak pernah lupa memperhatikan orang lain karena ia takut mereka alpa atau berpaling dari jalan kebenaran. Ia tidak pernah ragu-ragu dalam kebenaran dan tidak pernah melanggar batas-batasnya. Orang-orang yang paling dekat dengannya adalah orang-orang yang paling baik. Orang yang paling baik, dalam pandangannya, adalah orang-orang yang paling tulus menyayangi kaum muslimin seluruhnya. Orang yang paling tinggi kedudukannya disisinya adalah orang yang paling banyak memperhatikan dan membantu orang lain.’”

Cara Rasulullah duduk

Imam Husain berkata, “Kemudian aku bertanya kepadanya tentang cara Rasulullah duduk. Ia menjawab, ‘Rasulullah tidak pernah duduk atau berdiri tanpa mengingat Allah. Ia tidak pernah memesan tempat hanya untuk dirinya dan melarang orang lain duduk di situ. Ketika datang di tempat pertemuan, ia duduk dimana saja tempat tersedia. Ia juga menganjurkan orang lain untuk berbuat yang sama. Ia memberikan tempat duduk dengan cara yang sama sehingga tidak ada orang yang merasa bahwa orang lain lebih mulia ketimbang dia. Ketika seseorang duduk di hadapannya, ia akan tetap duduk dengan sabar sampai orang itu berdiri atau meninggalkannya. Jika orang meminta sesuatu kepadanya, ia akan memberikan tepat apa yang orang itu minta. Jika tidak sanggup memenuhinya, ia akan mengucapkan kata-kata yang membahagiakan orang itu. Semua orang senang pada akhlaknya sehingga ia seperti ayah bagi mereka dan semua ia perlakukan dengan sama. Majlisnya adalah majlis kesabaran, kehormatan, kejujuran dan kepercayaan. Tidak ada suara keras di dalamnyadan tidak ada tuduhan-tuduhan yang buruk. Tidak ada kesalahan orang yang diulangi lagi di luar majlis. Mereka yang berkumpul dalam pertemuan memperlakukan sesamanya dengan baik dan mereka satu sama lain terikat dalam kesalehan. Mereka rendah hati, sangat menghormati yang tua dan penyayang kepada yang muda, dermawan kepada yang fakir, dan ramah kepada pendatang dari luar.’

Cara Rasulullah bergaul dengan sahabatnya

“Aku bertanya kepadanya bagaimana Rasulullah bergaul dengan sahabat-sahabatnya. Ia menjawab, ‘Rasulullah ceria, selalu lembut hati, dan ramah. Ia tidak kasar dan tidak berhati keras. Ia tidak suka membentak-bentak. Ia tidak pernah berkata kotor, tidak suka mencari-cari kesalahan orang, juga tidak suka memuji-muji berlebihan. Ia mengabaikan apa yang tidak disukainya dalam perilaku orang begitu rupa sehingga orang tidak tersinggung dan tidak putus asa. Ia menjaga dirinya untuk tidak melakukan tiga hal: bertengkar, banyak omong, dan berbicara yang tidak ada manfaatnya. Ia juga menghindari tiga hal dalam hubungannya dengan orang lain: mengecam orang, mempermalukan orang, dan mengungkit-ungkit kesalahan orang. Ia tidak pernah berkata kecuali kalau ia berharap memperoleh anugerah Tuhan. Bila ia berbicara, pendengarnya menundukkan kepalanya, seakan-akan burung bertengger di atas kepalanya. Baru kalau ia diam, pendengarnya berbicara. Mereka tidak pernah berdebat di hadapannya. Jika salah seorang di antara mereka berbicara, yang lain mendengarkannya sampai ia selesai. Mereka bergiliran untuk berbicara di hadapannya. Ia tertawa jika sahabatnya tertawa; ia juga terkagum-kagum jika sahabatnya terpesona. Ia sangat penyabar kalau ada orang baru bertanya atau berkata yang tidak sopan, walaupun sahabat-sahabatnya keberatan. Ia biasanya berkata, “Jika kamu melihat orang yang memerlukan pertolongan, bantulah ia.” Ia tidak menerima pujian kecuali dari orang yang tulus. Ia tidak pernah menyela pembicaraan orang kecuali kalau orang itu melampaui batas. Ia menghentikan pembicaraannya atau berdiri meninggalkannya.’

Diamnya Rasulullah

“Kemudian aku bertanya padanya tentang diamnya Nabi. Ia berkata, ‘Diamnya Nabi karena empat hal: karena kesabaran, kehati-hatian, pertimbangan, dan perenungan. Berkaitan dengan pertimbangan, ia lakukan untuk melihat dan mendengarkan orang secara sama. Berkaitan dengan perenungan, ia lakukan untuk memilah yang tersisa (bermanfaat) dan yang binasa (yang tidak bermanfaat). Ia gabungkan kesabaran dengan lapang-dada. Tidak ada yang membuatnya marah sampai kehilangan kendali diri. Ia berhati-hati dalam empat hal: dalam melakukan perbuatan baik sehingga orang dapat menirunya; dalam meninggalkan keburukan sehingga orang berhenti melakukannya; dalam mengambil keputusan yang memperbaiki ummatnya; dan dalam melakukan sesuatu yang mendatangkan kebaikan dunia dan akhirat.”
(Ma’ani Al Akhbar 83; ‘Uyun Al Akhbar Al Ridha 1:246; Ibnu Katsir, Al Shirah Nabawiyah 2:601; lihat Thabathabai, Sunan Al Nabi SAW 102-105).

Rasulullah Saw sebagai Pemimpin

Nabi Muhammad Saw adalah sosok pemimpin yang sukses. Beliau berhasil memimpin dan memenej dirinya, dengan keterbatasan yang ada (ditinggal mati ayahnya pada usia 3 bulan dalam kandungan, dan ditinggal ibunya ketika usia 6 tahun, ditinggal kakek pada usia 8 tahun). Beliau digelari manusia berkualitas super (al-amin). Nabi Saw sukses memimpin keluarganya (istri dan anak-anak) sehingga terbina keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Nabi Saw juga terbukti mampu memimpin umatnya, mengangkat derajat masyarakat dari kehidupan jahiliah, minim budaya dan akhlak, kepada tatanan masyarakat madani-islami, mencetak kader-kader pemimpin masa depan (seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali), dan mempeidatukan unsur-unsur masyarakat yang beragam dan mensinergikannya menjadi kekuatan yang hebat.
Kesuksesan Nabi Saw disebabkan dua faktor utama yaitu akhlak yang mulia dan kualitas kepemimpinan (pengetahuan dan skill). Nabi Saw menghiasi dirinya dengan akhlak yang terpuji sehingga dia menjadi pemimpin yang dicintai dan disegani. Akhlak Nabi Saw, yang terkait dengan kepemimpinan, antara lain, Nabi Saw terkenal sangat santun dalam bersikap, termasuk terhadap bawahannya. Anas bin Malik, seorang pembantu Nabi, berkata, “Saya telah bekerja lebih dari 10 tahun dengan Rasulullah Saw. Selama itu tidak pernah saya mendengar Rasulullah Saw berkata, “Akh”, “Kenapa begitu?”, “Mengapa tidak begini“. (HR. Muslim).
Seorang pemimpin selayaknya bersikap santun agar dicintai dan dihormati. Sikap kasar dan keras akan menjadikan dirinya dijauhi dan dibenci. Firman Allah SWT, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (QS.AliImran[3]:159).

Kisah Kehidupan Rasulullah Saw

Masa Kecil Nabi SAW
Sudah menjadi kebiasaan bangsawan-bangsawan Arab di Mekah bahwa anak yang baru lahir disusukan kepadakepada salah seorang Keluarga Sa’d. Sementara masih menunggu orang yang akan menyusukan itu Aminah menyerahkan anaknya kepada Thuwaiba, budak perempuan pamannya, Abu Lahab. Selama beberapa waktu ia disusukan, seperti Hamzah yang juga kemudian disusukannya. Jadi mereka adalah saudara susuan. Thuwaiba hanya beberapa hari saja menyusukan.

Akhirnya datang juga wanita-wanita Keluarga Sa’d yang akan menyusukan itu ke Mekah. Mereka memang mencari bayi yang akan mereka susukan. Akan tetapi mereka menghindari anak-anak yatim, karena mereka mengharapkan upah yang lebih. Sedang dari anak-anak yatim sedikit sekali yang dapat mereka harapkan. Oleh karena itu di antara mereka itu tak ada yang mau mendatangi Muhammad. Salah seorang dari mereka, Halimah bint Abi-Dhua’ib, ternyata tidak mendapat bayi lain sebagai gantinya. Setelah mereka akan meninggalkan Mekah, Halimah memutuskan untuk mengambil Muhammad. Dia bercerita, bahwa sejak diambilnya anak itu ia merasa mendapat berkah. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan susunyapun bertambah. Tuhan telah memberkati semua yang ada padanya. Selama dua tahun Muhammad tinggal di sahara, disusukan oleh Halimah dan diasuh oleh Syaima’, puterinya. Udara sahara dan kehidupan pedalaman yang kasar menyebabkannya cepat sekali menjadi besar, dan menambah indah bentuk dan pertumbuhan badannya.

Setelah cukup dua tahun dan tiba masanya disapih, Halimah membawa anak itu kepada ibunya dan sesudah itu membawanya kembali ke pedalaman. Hal ini dilakukan karena kehendak ibunya, kata sebuah keterangan, dan keterangan lain mengatakan karena kehendak Halimah sendiri. Ia dibawa kembali supaya lebih matang, juga memang dikuatirkan dari adanya serangan wabah Mekah. Dua tahun lagi anak itu tinggal di sahara, menikmati udara pedalaman yang jernih dan bebas, tidak terikat oleh sesuatu ikatan jiwa, juga tidak oleh ikatan materi.

Pada masa itu, sebelum usianya mencapai tiga tahun, ketika itulah terjadi cerita yang banyak dikisahkan orang. Yakni, bahwa sementara ia dengan saudaranya yang sebaya sesama anak-anak itu sedang berada di belakang rumah di luar pengawasan keluarganya, tiba-tiba anak yang dari Keluarga Sa’d itu kembali pulang sambil berlari, dan berkata kepada ibu-bapanya: “Saudaraku yang dari Quraisy itu telah diambil oleh dua orang laki-laki berbaju putih. Dia dibaringkan, perutnya dibedah, sambil di balik-balikan.” Dan tentang Halimah ini ada juga diceritakan, bahwa mengenai diri dan suaminya ia berkata: “Lalu saya pergi dengan ayahnya ke tempat itu. Kami jumpai dia sedang berdiri. Mukanya pucat-pasi. Kuperhatikan dia. demikian juga ayahnya. Lalu kami tanyakan: “Kenapa kau, nak?” Dia menjawab: “Aku didatangi oleh dua orang laki-laki berpakaian putih. Aku di baringkan, lalu perutku di bedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Tak tahu aku apa yang mereka cari.”

Keluarga itu kemudian ketakutan, kalau-kalau terjadi sesuatu pada anak itu. Sesudah itu, dibawanya anak itu kembali kepada ibunya di Mekah. Atas peristiwa ini Ibn Ishaq membawa sebuah Hadis Nabi sesudah kenabiannya. Dalam riwayat yang diceritakan Ibn Ishaq, dikatakan bahwa sebab dikembalikannya kepada ibunya bukan karena cerita adanya dua malaikat itu, melainkan ada beberapa orang Nasrani Abisinia memperhatikan Muhammad dan menanyakan kepada Halimah tentang anak itu. Dilihatnya belakang anak itu, lalu mereka berkata: “Biarlah kami bawa anak ini kepada raja kami di negeri kami. Anak ini akan menjadi orang penting. Kamilah yang mengetahui keadaannya.” Halimah lalu cepat-cepat menghindarkan diri dari mereka dengan membawa anak itu.

Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan yang indah sekali dan kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibu Halimah dan keluarganya tempat dia menumpahkan rasa kasih sayang dan hormat selama hidupnya itu. Penduduk daerah itu pernah mengalami suatu masa paceklik sesudah perkawinan Muhammad dengan Khadijah. Bilamana Halimah kemudian mengunjunginya, sepulangnya ia dibekali dengan harta Khadijah berupa unta yang dimuati air dan empat puluh ekor kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang paling berharga untuk tempat duduk Ibu Halimah sebagai tanda penghormatan. Ketika Syaima, puterinya berada di bawah tawanan bersama-sama pihak Hawazin setelah Ta’if dikepung, kemudian dibawa kepada Muhammad, ia segera mengenalnya. Ia dihormati dan dikembalikan kepada keluarganya sesuai dengan keinginan wanita itu.

Kemudian Abd’l-Muttalib yang bertindak mengasuh cucunya itu. Ia memeliharanya sungguh-sungguh dan mencurahkan segala kasih-sayangnya kepada cucu ini. Biasanya buat orang tua itu – pemimpin seluruh Quraisy dan pemimpin Mekah – diletakkannya hamparan tempat dia duduk di bawah naungan Ka’bah, dan anak-anaknya lalu duduk pula sekeliling hamparan itu sebagai penghormatan kepada orang tua. Tetapi apabila Muhammad yang datang maka didudukkannya ia di sampingnya diatas hamparan itu sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. Melihat betapa besarnya rasa cintanya itu paman-paman Muhammad tidak mau membiarkannya di belakang dari tempat mereka duduk itu

Kematian Ibunda

Ketika Nabi berusia 6 tahun, Aminah membawanya ke Medinah untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak Keluarga Najjar. Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak perempuan yang ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampai mereka di Medinah kepada anak itu diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama kali ia merasakan sebagai anak yatim. Dan barangkali juga ibunya pernah menceritakan dengan panjang lebar tentang ayah tercinta itu, yang setelah beberapa waktu tinggal bersama-sama, kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamannya dari pihak ibu.

Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Medinah, Aminah bersama rombongan kembali pulang dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Mekah. Tetapi di tengah perjalanan, ketika mereka sampai di Abwa’,2 ibunda Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan pula di tempat itu. Anak itu oleh Umm Aiman dibawa pulang ke Mekah, pulang menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa kehilangan; sudah ditakdirkan menjadi anak yatim. Terasa olehnya hidup yang makin sunyi, makin sedih. Baru beberapa hari yang lalu ia mendengar dari Ibunda keluhan duka kehilangan Ayahanda semasa ia masih dalam kandungan. Kini ia melihat sendiri dihadapannya, ibu pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayah dulu. Tubuh yang masih kecil itu kini dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu. Lebih-lebih lagi kecintaan Abd’l-Muttalib kepadanya. Tetapi sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu bekasnya masih mendalam sekali dalam jiwanya sehingga di dalam Qur’anpun disebutkan, ketika Allah mengingatkan Nabi akan nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu: “Bukankah engkau dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakanNya orang yang akan melindungimu? Dan menemukan kau kehilangan pedoman, lalu ditunjukkanNya jalan itu?” (Qur’an, 93: 6-7)

Nabi kemudian di bawah asuhan kakeknya, Abd’l-Muttalib. Tetapi orang tua itu juga meninggal tak lama kemudian, dalam usia delapanpuluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru berumur delapan tahun. Sekali lagi Muhammad dirundung kesedihan karena kematian kakeknya itu, seperti yang sudah dialaminya ketika ibunya meninggal. Begitu sedihnya dia, sehingga selalu ia menangis sambil mengantarkan keranda jenazah sampai ketempat peraduan terakhir.

Bersama Abu Talib

Kemudian pengasuhan Muhammad di pegang oleh Abu Talib, sekalipun dia bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua adalah Harith, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas yang mampu, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena itu ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus rifada (makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu Talib mempunyai perasaan paling halus dan terhormat di kalangan Quraisy. Dan tidak pula mengherankan kalau Abd’l-Muttalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian kepada Abu Talib. Abu Talib mencintai kemenakannya itu sama seperti Abd’l-Muttalib juga. Karena kecintaannya itu ia mendahulukan kemenakan daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati, itulah yang lebih menarik hati pamannya.

Perjalanan Pertama Ke Syam

Ketika usia Nabi baru duabelas tahun, ia turut dalam rombongan kafilah dagang bersama Abu Talib ke negeri Syam. Diceritakan, bahwa dalam perjalanan inilah ia bertemu dengan rahib Bahira, dan bahwa rahib itu telah melihat tanda-tanda kenabian padanya sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Rahib itu menasehatkan keluarganya supaya jangan terlampau dalam memasuki daerah Syam, sebab dikuatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadap dia.
Dalam perjalanan itulah, Nabiyullah mendapat pengalaman dan wawasan yang berguna. Beliau dapat melihat luasnya padang pasir, menatap bintang-bintang yang berkilauan di langit yang jernih cemerlang. Dilaluinya daerah-daerah Madyan, Wadit’l-Qura serta peninggalan bangunan-bangunan Thamud. Didengarnya dsegala cerita orang-orang Arab dan penduduk pedalaman tentang bangunan-bangunan itu, tentang sejarahnya masa lampau. Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti di kebun-kebun yang lebat dengan buab-buahan yang sudah masak, yang akan membuat ia lupa akan kebun-kebun di Ta’if serta segala cerita orang tentang itu. Taman-taman yang dilihatnya dibandingkannya dengan dataran pasir yang gersang dan gunung-gunung tandus di sekeliling Mekah itu. Di Syam Muhammad mengetahui berita-berita tentang Kerajaan Rumawi dan agama Kristennya, didengarnya berita tentang Kitab Suci mereka serta oposisi Persia dari penyembah api terhadap mereka dan persiapannya menghadapi perang dengan Persia. Sekalipun usianya baru dua belas tahun, tapi dia sudah mempunyai persiapan kebesaran jiwa, kecerdasan otak, tinjauan yang begitu dalam, ingatan yang cukup kuat, serta segala sifat-sifat semacam itu yang diberikan Allah kepadanya sebagai suatu persiapan akan menerima risalah (misi) maha besar yang sedang menantinya. Ia melihat ke sekeliling, dengan sikap menyelidiki, meneliti. Ia tidak puas terhadap segala yang didengar dan dilihatnya. Ia bertanya kepada diri sendiri: Di manakah kebenaran dari semua itu?

Masa Remaja Nabi SAW

Muhammad yang tinggal dengan pamannya, menerima apa adanya. Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka yang seusia dia. Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di Mekah dengan keluarga, kadang pergi bersama mereka ke pekan-pekan yang berdekatan dengan ‘Ukaz, Majanna dan Dhu’l-Majaz, mendengarkan sajak-sajak yang dibawakan oleh penyair-penyair Mudhahhabat dan Mu’allaqat, yang melukiskan lagu cinta dan puisi-puisi kebanggaan, melukiskan nenek moyang mereka, peperangan mereka, kemurahan hati dan jasa-jasa mereka. Didengarnya ahli-ahli pidato di antaranya orang-orang Yahudi dan Nasrani yang membenci paganisma Arab. Mereka bicara tentang Kitab-kitab Suci Isa dan Musa, dan mengajak kepada kebenaran menurut keyakinan mereka. Dinilainya semua itu dengan hati nuraninya, dilihatnya ini lebih baik daripada paganisma yang telah menghanyutkan keluarganya itu. Tetapi tidak sepenuhnya ia merasa lega.
Dengan demikian sejak muda-belia takdir telah mengantarkannya ke jurusan yang akan membawanya ke suatu saat bersejarah, saat mula pertama datangnya wahyu, tatkala Tuhan memerintahkan ia menyampaikan risalahNya itu. Yakni risalah kebenaran dan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Kalau Muhammad sudah mengenal seluk-beluk jalan padang pasir dengan pamannya Abu Talib, sudah mendengar para penyair, ahli-ahli pidato membacakan sajak-sajak dan pidato-pidato dengan keluarganya dulu di pekan sekitar Mekah selama bulan-bulan suci, maka ia juga telah mengenal arti memanggul senjata, ketika ia mendampingi paman-pamannya dalam Perang Fijar.

Perang Fijar

Perang Fijar bermula dari peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh Barradz bin Qais dari kabilah Kinana kepada ‘Urwa ar-Rahhal bin ‘Utba dari kabilah Hawazin pada bulan suci yang sebenarnya dilarang untuk berperang. Seorang pedagang, Nu’man bin’l-Mundhir, setiap tahun mengirimkan sebuah kafilah dari Hira ke ‘Ukaz, tidak jauh dari ‘Arafat. Barradz menginginkan membawa kafilah itu ke bawah pengawasan kabilah Kinana. Demikian juga ‘Urwa menginginkan mengiringi kafilah itu. Nu’man memilih ‘Urwa (Hawazin), dan hal ini menimbulkan kejengkelan Barradz (Kinana). Ia kemudian mengikutinya dari belakang, lalu membunuhnya dan mengambil kabilah itu. Maka terjadilah perang antara mereka itu. Perang ini hanya beberapa hari saja setiap tahun, tetapi berlangsung selama empat tahun terus-menerus dan berakhir dengan suatu perdamaian model pedalaman, yaitu yang menderita korban manusia lebih kecil harus membayar ganti sebanyak jumlah kelebihan korban itu kepada pihak lain. Maka dengan demikian Quraisy telah membayar kompensasi sebanyak duapuluh orang Hawazin. Perang fijar ini terjadi ketika Nabi berusia antara limabelas tahun sampai duapuluh tahun.

Beberapa tahun sesudah kenabiannya Rasulullah menyebutkan tentang Perang Fijar itu dengan berkata: “Aku mengikutinya bersama dengan paman-pamanku, juga ikut melemparkan panah dalam perang itu; sebab aku tidak suka kalau tidak juga aku ikut melaksanakan.”
Perang Fijar itu berlangsung hanya beberapa hari saja tiap tahun. Sedang selebihnya masyarakat Arab kembali ke pekerjaannya masing-masing. Pahit-getirnya peperangan yang tergores dalam hati mereka tidak akan menghalangi mereka dari kegiatan perdagangan, menjalankan riba, minum minuman keras serta pelbagai macam kesenangan dan hiburan sepuas-puasnya

Akan tetapi Nabi telah menjauhi semua itu, dan sejarah cukup menjadi saksi. Yang terang ia menjauhi itu bukan karena tidak mampu mencapainya. Mereka yang tinggal di pinggiran Mekah, yang tidak mempunyai mata pencarian, hidup dalam kemiskinan dan kekurangan, ikut hanyut juga dalam hiburan itu. Jiwa besarnya yang selalu mendambakan kesempurnaan, itu lah yang menyebabkan dia menjauhi foya-foya, yang biasa menjadi sasaran utama pemduduk Mekah. Ia mendambakan cahaya hidup yang akan lahir dalam segala manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan ini dibuktikan oleh julukan yang diberikan orang kepadanya dan bawaan yang ada dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak masa ia kanak-kanak gejala kesempurnaan, kedewasaan dan kejujuran hati sudah tampak, sehingga penduduk Mekah semua memanggilnya Al-Amin (artinya ‘yang dapat dipercaya’).

Yang menyebabkan dia lebih banyak merenung dan berpikir, ialah pekerjaannya menggembalakan kambing sejak dalam masa mudanya itu. Dia menggembalakan kambing keluarganya dan kambing penduduk Mekah. Dengan rasa gembira ia menyebutkan saat-saat yang dialaminya pada waktu menggembala itu. Di antaranya ia berkata: “Nabi-nabi yang diutus Allah itu gembala kambing.” Dan katanya lagi: “Musa diutus, dia gembala kambing, Daud diutus, dia gembala kambing, aku diutus, juga gembala kambing keluargaku di Ajyad.” Gembala kambing yang berhati terang itu, dalam udara yang bebas lepas di siang hari, dalam kemilau bintang bila malam sudah bertahta, menemukan suatu tempat yang serasi untuk pemikiran dan permenungannya.
Pemikiran dan permenungan demikian membuat ia jauh dari segala pemikiran nafsu manusia duniawi. Ia berada lebih tinggi dari itu sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas di hadapannya. Oleh karena itu, dalam perbuatan dan tingkah-lakunya Muhammad terhindar dari segala penodaan nama yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk Mekah, dan memang begitu adanya: Al-Amin. Pada suatu hari ia ingin bermain-main seperti pemuda-pemuda lain. Hal ini dikatakannya kepada kawannya pada suatu senja, bahwa ia ingin turun ke Mekah, bermain-main seperti para pemuda di gelap malam, dan dimintanya kawannya menjagakan kambing ternaknya itu. Tetapi Allah SWT selalu melindunginya, sesampainya di ujung Mekah, perhatiannya tertarik pada suatu pesta perkawinan dan dia hadir di tempat itu. Tetapi tiba-tiba ia tertidur. Pada malam berikutnya datang lagi ia ke Mekah, dengan maksud yang sama. Terdengar olehnya irama musik yang indah, seolah turun dari langit. Ia duduk mendengarkan. Lalu tertidur lagi sampai pagi.

Kenikmatan yang dirasakan Muhammad sejak masa pertumbuhannya yang mula-mula yang telah diperlihatkan dunia sejak masa mudanya adalah kenangan yang selalu hidup dalam jiwanya, yang mengajak orang hidup tidak hanya mementingkan dunia. Ini dimulai sejak kematian ayahnya ketika ia masih dalam kandungan, kemudian kematian ibunya, kemudian kematian kakeknya. Kenikmatan demikian ini tidak memerlukan harta kekayaan yang besar, tetapi memerlukan suatu kekayaan jiwa yang kuat. sehingga orang dapat mengetahui: bagaimana ia memelihara diri dan menyesuaikannya dengan kehidupan batin.

Pernikahan Dengan Khadijah ra

Ketika Nabi itu berumur duapuluh lima tahun. Abu Talib mendengar bahwa Khadijah sedang menyiapkan perdagangan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam. Abu Talib lalu menghubungi Khadijah untuk mengupah Muhammad untuk menjalankan perdagangannya. Khadijah setuju dengan upah empat ekor unta. Setelah mendapat nasehat paman-pamannya Muhammad pergi dengan Maisara, budak Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir kafilah itupun berangkat menuju Syam, dengan melalui Wadi’l-Qura, Madyan dan Diar Thamud serta daerah-daerah yang dulu pernah dilalui Muhammad dengan pamannya Abu Talib.
Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Muhammad mampu benar memperdagangkan barang-barang Khadijah, dengan cara perdagangan yang lebih banyak menguntungkan daripada yang dilakukan orang lain sebelumnya. Demikian juga dengan karakter yang manis dan perasaannya yang luhur ia dapat menarik kecintaan dan penghormatan Maisara kepadanya. Setelah tiba waktunya mereka akan kembali, mereka membeli segala barang dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai oleh Khadijah. Setelah kembali di Mekah, Muhammad bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang perjalanannya serta laba yang diperolehnya, demikian juga mengenai barang-barang Syam yang dibawanya. Khadijah gembira dan tertarik sekali mendengarkan. sesudah itu, Maisara bercerita juga tentang Muhammad, betapa halusnya wataknya, betapa tingginya budi-pekertinya. Hal ini menambah pengetahuan Khadijah di samping yang sudah diketahuinya sebagai pemuda Mekah yang besar jasanya.

Dalam waktu singkat saja kegembiraan Khadijah ini telah berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia – yang sudah berusia empatpuluh tahun, dan yang sebelum itu telah menolak lamaran pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy – tertarik juga hatinya mengawini pemuda ini, yang tutur kata dan pandangan matanya telah menembusi kalbunya. Pernah ia membicarakan hal itu kepada saudaranya yang perempuan – kata sebuah sumber, atau dengan sahabatnya, Nufaisa bint Mun-ya – kata sumber lain. Nufaisa pergi menjajagi Muhammad seraya berkata: “Kenapa kau tidak mau kawin?” “Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan,” jawab Muhammad. “Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta, terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kauterima?” “Siapa itu?” Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata: “Khadijah.” “Dengan cara bagaimana?” tanya Muhammad. Sebenarnya ia sendiri berkenan kepada Khadijah sekalipun hati kecilnya belum lagi memikirkan soal perkawinan, mengingat Khadijah sudah menolak permintaan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy. Setelah atas pertanyaan itu Nufaisa mengatakan: “Serahkan hal itu kepadaku,” maka iapun menyatakan persetujuannya.
Tak lama kemudian Khadijah menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarga Khadijah guna menentukan hari perkawinan. Kemudian perkawinan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman Khadijah, Umar bin Asad, sebab Khuwailid ayahnya sudah meninggal sebelum Perang Fijar. Di sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhammad. Dimulainya kehidupan itu sebagai suami-isteri dan ibu-bapa, suami-isten yang harmonis dan sedap dari kedua belah pihak, dan sebagai ibu-bapa yang telah merasakan pedihnya kehilangan anak sebagaimana pernah dialami Muhammad yang telah kehilangan ibu-bapa semasa ia masih kecil.

Menjelang kematian Rasulullah Saw

12 RobiulAwal adalah hari bersejarah yaitu lahirnya sang pemimpin agung dari kalangan Yatim Piatu yang juga keluarga miskin, kegigihannya dalam menapaki kehidupan yang sangat penuh tantangan membuat Beliau lahir sebagai teladan disegala aspek kehidupan.
Kisah terakhir ini bukan ingin menceritakan detik-detik kelahiran Beliau sang kekasih Allah, tetapi ingin mengajak kita semua merasakan detik-detik terakhir bersama Rasulullah Muhammad SAW.
Pagi itu, meski langit telah mulai menguning, burung burung gurun enggan mengepakkan sayap. Pagi itu Rasulullah dengan suara terbata memberikan petuah, “Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasihNya. Maka taati dan bertaqwalah kepadaNya. Kuwariskan 2 hal pada kalian, Al Quran dan Sunnahku. Barangsiapa mencintai sunnahku, berarti mencintaiku dan kelak orang yagn mencintaiku akan bersama sama masuk surga bersamaku”
Kutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabanya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengna berkaca kaca. Umar dadanya berdegubkencang menaha napas dan tangisnya. Utsman menghela napas panjang. Ali menundukkan kepala dalam dalam…..Isyarat itu telah datang, saatnya telah tiba.
“Rasulullah akan meninggalkan kita semua” desah hati semua sahabat kala itu.
Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda tanda itu semakin kuat tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun mimbar.
Saat itu seluruh sahabat yang hadir serasa Manahan detik detik berlalu. Matahari kian tinggi, tetapi pintu Rasulullah masih tertutup. Di dalamnya Rasulullah sedang terbaring lemah dengan kening berkeringat dan membasahi pelepah kurma yagn menjadi alas tempat tidurnya.
Tiba tida dari luar pintu terdengar seseorang yang berseru mengucapkan salam. “Bolehkah saya masuk?” tanyanya.
Tetapi Fatimah tidak mengijinkannya masuk.
“Maafkanlah, tetapi ayahku sedang sakit” kata Fatimah sambil membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian dia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membukakan mata dan beratnya pada Fatimah.
“Siapakah itu, wahai putriku?”
“Aku tidak kenal ayah, sepertinya baru sekali ini aku melihatnya” tutur Fatimah lembut. Lalu Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Satu satu garis wajahnya seolah hendak di kenang. “Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikat maut,” kata Rasulullah.
Fatimah pun menahan ledakan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tetapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tak ikut menyertai. Kemudian dipanggilah Jibril yagn sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.
“Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?” Tanya Rasulullah dengan suara lemah.
“Pintu pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu,” kata Jibril. Tetapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
“Engkau tidak senang mendengar kabar ini?” Tanya Jibril lagi.
“Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?”
“Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku ‘Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya’” kata Jibril. Detik detik semakin dekat, saatnya Izrail melaksanakan tugas. Perlahan ruh Rasulullah di tarik.
Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat urat lehernya menegang. “Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini lirih Rasulullah mengaduh.
Fatimah terpejam, Ali disampingnya menunduk kian dalam dan Jibril membuang muka.
“jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?’ Tanya Rasulullah pada malaikat pengantar wahyu itu.
“Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah di renggut ajal” kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena sakit yang tak tertahankan lagi.
“Ya Allah, dasyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan kepada umatku”
Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya, ‘Ushikum bi ash shalati wa ma malakat aimanukuk’ Peliharalah shalatmu dan santuni orang orang lemah di antaramu.
Di luar pintu, tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat sahabat saling berpelukan. Fatimahmenutup wajahnya dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasul yagnmulai kebiruan. ‘Ummati ummati ummati’ dan pupuslah kembang hidup manusia mulia itu.
Siapakah yang disapa lembaut Rasulullah pada detik detik akhir hayatnya? Umatku…umatku…umatku… Inilah Nabi yang membasahi janggutnya dengan air mata akrena memikirkan derita umat sepeninggalnya, yagn merebahkan dirinya di atas tanah dan mengangkatnya sebelum Allah mengizinkannya untuk memberikan syafaat kepada umatnya, yang suka dukanya terpaut dengan umat yang dipimpinnya.
‘Telah datang kepadamu seorang rasul dari kalanganmu sendiri. Berat baginya apa yag kamu derita, sangat ingin agar kamu mendapatkan kebahagiaan. Ia sangat pengasih dan penyayang kepada orang orang yang beriman’ (QS At Taubah, 9:128)
Salam álaik Yaa Rosulloh. Kau begitu mencintai Kami…
Sebagaimana diriwayatkan dalam HR Bukhori:
Jabir RA meriwayatkan, “Nabi SAW selalu bersandar pada sebatang pohon kurma (yang awalnya terletak pada tempat dimana tiang ini berada) ketika melakukan khutbah Jumat, kaum Ansar dengan hormat menawarkan pada Nabi SAW, “Kami dapat membuat sebuah mimbar untukmu, jika engkau menyetujuinya”.
Nabi SAW menyetujuinya .Dan sebuah mimbar yang terdiri dari 3 anak tangga dibangun. Ketika Nabi SAW duduk di atas mimbar ini untuk berkhutbah,
Terdengar batang pohon kurma itu menangis seperti anak kecil. Nabi SAW mendekati pohon yang sedang menangis ini dan kemudian memeluknya.
Rosululloh SAW bersabda : “apakah Engkau tidak ridha dikuburkan disini dan kelak akan bersamaku di surga?” Kemudian Pohon ini terdiam.
( Sekarang ini , tiang dimana pohon kurma itu dulu berada, dikenal dengan sebutan tiang Mukhallaqah. )
Pohon kurma ini menangis karena Ia berpisah dengan Nabi SAW.
Pohon ini merasakan kepedihan perpisahan dengan Sang Kekasih Agung….
inilah sebagian kecil kisah agung Rasulullah SAW, masih ribuan kisah yang tidak mungkin kami sajikan dalan FB ini, namun jika 12 kisah ini mampu kita COPY PASTE, insya kita juga akan lahir menjadi manusia baru yang lebih berkualitas dan bermanfaat bagi banyak orang.
Ya Rosululloh.. Ya Habibi.. Ya Habibi…

Sebab Khadijah Jatuh Hati kepada Rasulullah Saw...

Wanita mana yang tidak terpikat oleh pemuda seperti ini? Ia tampan, kaya, cerdas, keturunan orang terhormat, dan paling mulia akhlaknya di Jazirah Arab. Menjelang tengah hari, sebuah kafilah dagang dari negeri Syam tiba di Makkah. Tak lama kemudian kafilah dagang itu memasuki pelataran sebuah rumah besar dan bagus.
Dari dalam terlihat seorang wanita berusia bergegas ke luar dan menyambut kafilah dagang yang sangat dinantikannya. Dari mimik mukanya tampak gurat-urat kegembiraan. Tak lama kemudian, terjadi percakapan antara wanita yang bernama Siti Khadijah itu dengan Muhammad bin Abdullah, pemuda yang memimpin kafilah dagang. Didengarkannya pemuda Muhammad berbicara dengan bahasa yang begitu fasih tentang perjalanan dagangnya ke negeri Syam, serta keuntungan yang diperoleh dari perdagangan tersebut. Demikian juga, Khadijah mendengar penjelasan Muhammad tentang barang-barang dari Syam yang berhasil ia bawa beserta kafilahnya. Khadijah sangat gembira dan terlihat antusias sekali mendengarkan cerita tersebut.
Sesaat kemudian datanglah Maisarah; orang kepercayaan Khadijah yang menyertai Muhammad berdagang ke Syam. Ia pun menceritakan pengalaman-pengalaman yang ditemuinya selama perjalanan. Semua yang diceritakan Maisarah makin menambah pengetahuan Khadijah tentang Muhammad.  Sebelumnya, Khadijah pun tahu bahwa Muhammad adalah sosok pemuda yang sangat mulia akhlaknya. Dalam waktu yang singkat, rasa simpati itu berubah menjadi rasa cinta. Khadijah tertarik untuk menjadikan Muhammad bin Abdullah sebagai pendamping hidup.
Apa yang menyebabkan Siti Khadijah simpati lalu jatuh hati pada sosok pemuda Muhammad? Bukankah Khadijah adalah seorang konglomerat wanita terkaya di Makkah saat itu, sedangkan Muhammad hanya seorang 'pemuda biasa'? Mengapa pula Khadijah 'berani' menjadikan Muhammad sebagai suami, bahkan ia yang berinisiatif melamarnya, padahal sebelumnya banyak pembesar Quraisy yang mengajukan lamaran, dan semuanya ditolak?
Ada beberapa faktor penyebab. Pertama, faktor kesepadanan atau kesekufuan. Adalah sesuatu yang wajar bila seseorang jatuh cinta pada orang yang memiliki banyak kesamaan dengan dirinya daripada perbedaan. Orang pun akan cenderung memilih pendamping hidup yang sekufu (sederajat), baik dari sisi harta, ideologi, gaya hidup, keilmuan, dan kepribadian.
Khadijah mencintai Rasulullah SAW, boleh jadi, disebabkan karena Muhammad Rasulullah SAW memiliki banyak 'kesamaan' dengan dirinya. Khadijah adalah wanita mulia, Muhammad SAW pun seorang lelaki mulia, sehingga Khadijah pun cenderung memilih pendamping yang akhlaknya mulia. Khadijah adalah seorang konglomerat, sedangkan Rasul seorang entrepreneur dan marketer yang hebat. Rasul berasal dari keturunan orang-orang terpandang, begitupun Khadijah. Kedua karakter yang memiliki banyak kesamaan ini jelas lebih mudah bersatu. Di luar ketentuan Allah SWT, Khadijah tertarik pada Rasulullah SAW karena beliau adalah seorang profesional. Sampai usia 25 tahun, Rasul telah melewati tahap-tahap kehidupan sebagai seorang profesional di bidangnya (pedagang).
Mengkaji pribadi Rasulullah SAW, kita akan mendapatkan jiwa entrepreneurship yang sudah dipupuk sejak usia 12 tahun, tatkala pamannya Abu Thalib mengajak melakukan perjalanan bisnis ke Syam, negeri meliputi: Suriah, Yordania, dan Lebanon saat ini. Demikian juga sebagai seorang yatim piatu yang tumbuh besar bersama pamannya, Beliau telah ditempa untuk tumbuh sebagai seorang wirausahawan yang mendiri. Maka ketika pamannya tidak bisa lagi terjun langsung menangani usaha, pada usia 17 tahun Muhammad telah diserahi wewenang penuh untuk mengurusi seluruh bisnis pamannya. Kedua, dilihat dari segi fisik Rasulullah SAW sangat sulit dikatakan jelek. Muhammad Husein Haikal dalam bukunya Sejarah Hidup Muhammad dengan baik menggambarkan bagaimana indahnya wajah Rasulullah SAW.
''Paras mukanya manis dan indah, perawakannya sedang, tidak terlampau tinggi juga tidak pendek, dengan bentuk kepala yang besar, berambut hitam antara keriting dan lurus. Dahinya lebar dan rata di atas sepasang alis yang lengkung lebat dan bertaut, sepasang matanya lebar dan hitam, di tepi-tepi putih matanya agak kemerah-merahan, tampak lebih menarik dan kuat; pandangan matanya tajam dengan bulu mata yang hitam pekat. Hidungnya halus dan merata dengan barisan gigi yang bercelah-celah. Cambangnya lebat sekali, berleher agak panjang dan indah. Dadanya lebar dengan kedua bahu yang bidang. Warna kulitnya terang dan jernih dengan kedua telapak tangan dan kakinya yang tebal. Bila berjalan badannya agak condong ke depan, melangkah cepat, dan pasti. Air mukanya membayangkan renungan dan penuh pikiran, pandangan matanya menunjukkan kewibawaan, hingga membuat orang patuh kepadanya.''
Ketampanan Rasulullah SAW terasa makin lengkap dengan gerak-geriknya yang menawan. Dikisahkan pula oleh Ummu Ma'bad bagaimana sikap beliau, tatkala ia melihat Rasulullah SAW dalam perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah: ''Aku melihat seorang lelaki dengan wajah berseri-seri dan bercahaya... Jika ia diam maka tampaklah kharismanya. Jika sedang berbicara, ia tampak begitu agung dan santun. Ia tampak paling muda dan paling rupawan bila dipandang dari kejauhan, juga paling tampan dan memesona di antara rombongannya. Ucapannya menyejukkan, perkataannya jelas; tidak sedikit dan tidak pula bertele-tele, sebagai buah dari kecerdasan. Beliau adalah orang yang paling menarik dan kharismatik di antara ketiga sahabatnya (Abu Bakar dan seorang penunjuk jalan).''
Keindahan perilaku Rasulullah SAW bersumber dari kemuliaan akhlak dan kejernihan jiwa. Inilah faktor ketiga yang membuat Khadijah jatuh cinta. Muhammad adalah sosok pemuda berakhlak mulia, bahkan puncak dari akhlak yang mulia. Dengan karunia Allah SWT, dalam diri beliau terkumpul semua akhlak terpuji yang dikenal manusia: kejujuran, kedermawan, ataupun kelembutan. Tak ada satu sisi pun dalam diri beliau tanpa budi pekerti yang luhur. Akhlak Rasulullah SAW adalah sebuah keistimewaan, hingga beliau 'meringkas' misi dakwahnya dalam sebuah hadis, ''Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia'' (HR Bukhari dan Hakim).
William Moir, seorang pujangga asal Prancis, mengungkapkan bagaimana indahnya akhlak Rasulullah SAW. Ia berkata, ''Sederhana dan mudah adalah gambaran seluruh hidupnya. Perasa dan adabnya adalah sifat yang paling menonjol dalam pergaulan beliau dengan pengikutnya yang paling rendah sekalipun. Tawadhu, sabar, penyayang, dan mementingkan orang lain lagi dermawan adalah sifat yang selalu menyertai pribadinya dan menarik simpati orang di sekitarnya. Tidak seorang pun di sampingnya yang merasa bahwa ia tidak memperhatikannya secara khusus, meski orang itu adalah seorang gembel. Jika bertemu dengan orang yang berbahagia karena suatu keberhasilan, maka ia menggengam tangannya dan ikut merasakan kegembiraan. Jika bersama dengan orang yang tertimpa musibah dan dirundung kesedihan, beliau pun ikut larut merasakan kesedihan mereka. Beliau sangat perasa dan pandai menghibur.''Karenanya, wanita mana yang tidak terpincut oleh pemuda seperti ini? n ems

Kamis, 26 Agustus 2010

Ramadhan nggak bisa pulang, Lebaran ditengah jalan.....

 Saya tidak habis fikir, bagaimana mungkin Pemerintah membuat kebijakan Pegawai dilarang mengambil cuti/izin disaat menjelang dan sesudah Lebaran....
Sedih bercampur pilu itulah perasaan yang saya rasakan mendengar informasi dari Biro Organisasi dan Kepegawaian Pusat yang mengirim selebaran yang intinya tidak memperbolehkan para Pegawai pulang lebih awal ke kampung halaman...
bagi sebagian orang mungkin ini bukan masalah..tapi bagaimana dengan kami, anak2 rantau yang pulang satu tahun sekali dan jarang bisa bertemu keluarga, masak harus dijegal juga.....
Zolim, itulah satu kata yang bisa saya katakan untuk mereka yang membuat peraturan ini...
dan kejam....
bagaimana mungkin saat Lebaran orang dilarang pulang, sementara saat lebaran itulah momen penting untuk kumpul bersama keluarga setelah sekian lama tidak bertemu ...kapan lagi kalau tidak Lebaran, kalau Lebaranpun tidak bisa kumpul keluarga....
mungkin mereka yang bukan berasal dari luar kota, bisa bilang ah untuk apa libur lama2....tapi buat kami yang jauh2 ini, yang sekian lama mengharap-harapkan bisa pulang.... rasanya sangat sedih dan terluka dengan keputusan yang menurut saya sangat tidak populis....

I Love You Rasullullah...

I Love You Rasulullah...I love You...I Love You...